MIAH MATI

Kamis, 30 Desember 2010

MIAH

Namanya Yoga Swasti, dia memang sedikit lebih pintar daripada aku tapi gantengnya hanya sekedar putih muka saja, setiap kali sebenarnya aku dan dia selalu bersaing, saling meremehkan dengan bahasa-bahasa yang halus sebagai perang urat saraf, namun aku yang sering kalah dan minder, apalagi ketika dia juga mengincar gadis yang sama ku incar, nama gadis itu Miah. Suatu hari aku pernah terlambat, terlambat sekolah pada tahun-tahun pertama memang umum terjadi pada kawan-kawan, saat itu aku bangun terlambat, kupanggil-pangil ibuku tidak menyahut bapakku juga sudah berangkat dinas, aku ternyata ditinggal sendiri dirumah tidak dibangunkan, sepertinya kedua orang tuaku sudah bosan melihat keterlambatanku sehingga inilah pelajaran moralnya, langsung aku mandi cara cepat, sarapan dua suapan lalu meluncur dengan sepeda Suzuki ku yang baru.
Di jalan kutemui Andik dan Mbak lis, mereka tetanggaku satu desa, ternyata juga terlambat, andik adalah putra terakhir generasi pembuat Mie Ayam pertama dan satu-satunya didesaku ini, sementara mbak lis adalah putra imam masjid terbesar didesaku pak ismail namanya, yang mengherankan Miah juga ada disitu kulihat dari kejauhan jalan persawahan, ternyata mereka semua sedang terhambat jalan becek yang teramat sangat, sehingga roda sepeda-sepeda mereka tercelup kedalam tanah yang liat, yang memaksa mereka tiap beberapa jalan selalu harus dibersihkan rodanya dari tanah yang menyumpal jalannya roda agar bisa jalan lagi, akupun ikut dalam parade menyedihkan itu, sampai diujung jalan aku dapat selesai lebih dulu dan langsung hendak tancap kayuhan pedal untuk menyongsong keterlambatanku, tapi….
“Hoooi!!! yan, tunggu aku to!!!” suara perempuan yang sepertinya agak memaksa dan aku kenal itu suara siapa , kuhentikan langsung langkah kayuhan pedal ku, langsung aku berbalik arah karena yang meneriaki semakin banyak mbak lis dan andik ikut membantu Miah menghentikan langkahku, aku tahu Miah memanggilku agar aku tetap menunggunya, maksudnya nanti agar bersama-sama sampai sekolah karena kulihat jam juga sudah sangat terlambat, Miah sebagai siswa putri yang disiplin tentu tak mau dihukum, sedangkan aku memang sudah terbiasa terlambat dan banyak alasan, tapi dengan begitu bodohnya aku tetap saja tidak paham perasaan wanita dan bagaimana memahami mereka, aku bengong saja, padahal seharusnya aku menyambutnya dengan perasaan senyum dan ikut berpura-pura menjadi pahlawan meskipun pahlawan kesiangan dengan membantunya membersihakan sepeda nya, tapi aku malah bergumaam jengkel dalam hati “huh.. gadis ini menghambat perjalanan ku saja, sudah terlambat begini!”.
Lima menit kemudian sepeda Miah selesai dibersihkan dan siap jalan sedangkan mbak lis dan andik karena mereka sudah kelas tiga sepertinya santai sekali, tapi aku dan Miah begitu takutnya terlambat sampai-sampai kulihat wajah Miah ditekuk dan sedih bercampur takut…. Sedangkan aku “sial bajuku juga kotor gara-gara membersihkan sepedaku tadi, sudahlah aku tak peduli, peduli setan memang siapa yang akan memperhatikan aku!” pikirku dalam hati, maklum pikiranku masih kanak-kanak sekali dan terkesan tak punya perasaan pada diriku dan lingkungan serta orang lain.
Benarlah sampai kelas kami terlambat tapi untung gerbang sekolah belum dikunci atau memang sudah dibuka lagi jika sudah jam 07.30, “ah tak ambil pusing”, aku dan Miah langsung terburu-buru masuk tempat parkir sepeda dan langsung Miah setengah berlari menuju ruang kelas satu A(sekarang namanya Kelas tujuh A), Miah langsung masuk baru aku mengikuti dibelakangnya, tak kusangka Miah ketika meminta ijin pecahlah air matanya, dia kemudian langsung berlari menuju bangkunya duduk menangis pada punggung Nisa kawan sebangkunya, sedangkan aku tentu saja sudah biasa pasti celaka, dan harus beralasan gombal agar aku tidak dapat hukuman atau setidaknya tidak parah, akupun boleh duduk juga akhirnya oleh bu Ana. Memang dalam perjalanan tadi aku begitu tidak berperasaan, memacu sepeda kencang dan seolah-olah aku tak peduli pada Miah, “ayo Mi cepat! Kita terlambat banget lho!” Miah pun mau tak mau memacu sama kencangnya dengan kayuhan sepedaku karena takut juga sebab dia tidak pernah terlambat dan termasuk siswa paling disiplin dikelas, seharusnya aku tidak memperlakukannya kasar seperti itu, tapi tetap saja aku kekanak-kanakan, anak SMP yang belum mengerti rasa, masih amat manja, dalam hatipun meski ada rasa suka bersamanya bareng-bareng mengayuh sepeda dalam suasana kesiangan dengan sang Idola tapi dengan egois ku bilang pada diriku sendiri “Dasar perempuan, menyusahkan saja!” sampai dikelas pun aku saja yang harus menghadapi guru “Maaf bu saya terlambat” bu guru Ana yang baru lulusan IAIN itu bilang “Kenapa terlambat?! Bajumu kotor pula, habis mencangkul ya…?!!”
“Tadi jalanan becek sekali bu, dan ini semua karena terkena tanah waktu saya membersihkan tanah-tanah yang melekat disepeda bu” jawabku jujur, mungkin baru kali ini aku tidak menambahi alasanku
“Ya sudah sana, kamu boleh duduk!”.
Sejak saat itu kurasakan Miah semakin tak perhatian padaku, dia semakin hati-hati berangkat amat pagi dan sejak itu tak pernah aku berangkat lalu dijalan bisa bertemu Miah atau mengejar Miah yang biasanya bareng dengan mbak lis dan andik, dikelas Miah semakin menonjol, banyak teman dan selalu diatas angin dibanding teman-temannya yang lain , apalagi jika dibandingkan aku, maklum di kelas A adalah kelas paling unggulan yang selalu penuh persaingan, yang bodoh pasti minder atau tersingkir, karena aku adalah yang tidak disiplin sering terlambat, jarang mengerjakan PR, dan sepetinya aku yang paling malas disitu meski dahulu aku paling pintar waktu di SD bahkan menjadi Wakil SD dalam kompetisi siswa teladan, tapi tetap saja aku menjadi bagian orang-orang minder dan tersingkir, namun tentu saja aku tidak sendiri, pernah suatu pagi aku terlambat lagi, padahal itu pertama kalinya pak Indarto guru matematika yang lucu tapi terlihat galak wajahnya, beliau memberi PR ke Kelas A padahal PR nya hanya materi Diagram Ven, tapi yang tentu saja seperti biasa aku terlambat, tapi kali ini lumayan menyenangkan karena aku terlambat bersama rombongan
“Ayo cepet Kel! Wis telat ki” teriakku pada kawanku namanya tongkel yang tinggi besar tubuhnya, aku terus mempercepat langkah menuju kelas diikuti rombongan
“Nyantei ae wis kadung telat koq” jawab tongkel santai
Pada saat itu kami tidak ingat sama sekali kalau ada PR itu, saat itu aku, Tongkel, Harianto, Yanto, Putit, Ita dan suharni semua menghadap dan menyatakan alasan, kami beruntung boleh duduk tanpa dipersulit, tapi ketika ditanya PR “ mana PR Kalian?!” kami semua kompak menjawab “belum mengerjakan pak”, kemarahan Pak Indarto pun meledak, kami yang terlambat selain yang perempuan disuruh duduk, kami dijejer didepan kelas lalu pipi kiri kami secara berurutan ditampar, tapi tentu dengan kelembutan seorang guru, karena tidak seberapa sakit terasa tidak seperti tamparan pak Warno yang kata kawan-kawan sangat panas, setelah itu kami pun disuruh mengerjakan PR itu, urut mulai tongkel, aku, yanto, putit dan harianto, nomor 1-5, dan ternyata langsung ditempat itu kami semua bisa mengerjakan dan pak Indarto pun langsung bilang “sebenarnya ya bisa begitu, kenapa tidak dikerjakan dirumah?!” kami hanya diam menjawab pertanyaan itu, jelas beliau berpikir kami hanya malas saja.
Miah semakin berani dan terlihat cerdas, akupun semakin berharap besar padanya, dia bahkan menjadi sering maju kedepan kelas untuk mengerjakan soal sulit, suatu saat pak Mukhlis guru bahasa inggris bilang ke semua anak kelas A “ayo maju kedepan yang bisa mengerjakan ini “ kemudian Miah yang duluan maju, diikuti ruli yang juga pernah meraih rangking satu dikelas unggulan ini, Yuli Hartanti kawan sedesaku, tapi Yuli yang telah maju berkali-kali aku tahu tidak secerdas Miah karena Yuli aku telah hafal dia, dia hanya main berani saja karena dia adalah kawanku waktu kami di SD, bahkan waktu itu dia tak bisa mengerjakan soal bahasa inggris itu, tapi karena sudah terlanjur maju didepan, diapun hanya mematung lama sekali lalu mundur sendiri untuk melihat buku catatannya, “Bagaimana Yul?”
“Aduh tunggu sebentar Pak” Yuli maju kembali,
sambil menunggu akhirnya Yuli pun mundur
“Maaf pak….” Sambil Yuli mundur kembali kebangkunya.
Jelas itu sangat memalukan bahkan aku sendiripun tak mungkin sekuat perasaan dengan Yuli jika aku mengalami hal yang sama, sungguh patut diacungi jempol dia hebat.
Miah semakin hari semakin semakin hebat dan orang-orang semakin penasaran dan ingin dekat dengannya, sedang aku malah semakin minder padanya, akupun mundur teratur, meski dulu Miah dulu sering kerumahku, sering berdiskusi dirumahku sambil memakan salak dan dari bangku sekolahnya pun aku sering melihat banyak kulit salak, “oh…berarti dia sering makan buah begitu pikirku”. Selalu kuingat setiap maghrib dia datang kerumahku sering sekali hampir setiap hari diawal-awal kami menjadi siswa madrasah tsanawiah, hanya untuk mengerjakan PR bersama dengan perasaan bahagia, namun karena aku yang seperti itu, dingin dan pura-pura tak perhatian padanya padahal aku itu dalam hati sangat bahagia didatangi perempuan setiap hari dalam hidupku karena baru kali ini dalam sejarah hidupku, akhirnya dia yang sering mendominasi percakapan karena sikapku yang masih kekanak-kanakan, harusnya aku antar dia ketika pulang dari rumahku sampai kedepan rumah, lalu saat dia bertamu dirumahku harusnya aku sajikan makanan-makanan padanya, “dasar aku….bodoh…!!!!” membiarkan gadis idolaku, cinta pertamaku pergi kecewa membawa sesal pada laki-laki lain yang lebih bisa memahaminya.
Mungkin pada saat itu Miah sering kerumahku seolah-olah suka padaku, karena memang dia ingin tenang, didesa ini, karena disini dia ikut budenya (kakak ibunya) karena madrasah tempat kami sekolah lebih dekat dengan desaku sementara desa Miah jarak nya lumayan jauh, yang jelas tingggal dirumah orang itu serba bosan, meskipun disitu Miah tinggal juga dengan sepupunya, namanya Ririn, Ririn adalah anak angkat budenya Miah karena budenya Miah meskipun kaya raya tapi tidak punya anak, Miah tetap saja sepi serba bosan. Atau mungkin dia sering kerumahku memang suka padaku atau pura-pura saja karena memang sikap kebanyakan gadis adalah genit dan menyenangkan, entah.
Masih kuingat hari terakhir dia mengunjungiku dia meminjam buku bahasa indonesia catatanku, yang padahal amburadul, dia bilang saat di sekolah
“yan nanti sore pinjam catatan bahasa Indonesia nya tadi ya….?”
“ waduh catatanku tidak lengkap lho Mi”
“ sudahlah tidak apa-apa yang catatan tadi, yang terbaru tadi, kamu nyatatkan? Tadi soalnya aku tidak mengikuti karena ketinggalan”
“ya sudah, tapi tidak lengkap lho ya”
“iya nanti sore ya” itu kuingat sebagai percakapan hangat terakhir sang bidadari idolaku, sungguh peristiwa itu salah satu yang terus kuingat dalam hidupku sampai sekarang, dan satu lagi memori yang terus kuingat saat Miah dan aku sudah cukup jauh, Allah masih berkenan mengakrabkan aku dengannya.
Pada saat itu seperti biasa tiap sore aku mengaji Alquran meski masih Iqro’, kalau tidak salah saat itu iqro’ 6 atau 5, yang ngajar Miah,…oh sungguh memalukan sebenarnya, aku yang lebih tua sebulan darinya harus menjadi menjadi muridnya, agak menyebalkan memang tetapi menyenangkan sekali, tapi mungkin Miah kagum sekali padaku, bagaimana tidak kagum dalam usiaku yang setara usianya meski aku belum lancar membaca Alquran, tetapi aku mau berbaur dengan anak-anak kecil untuk belajar Alquran, mungkin itulah salah satu daya tarikku dimata Miah dulu, aku lugu, kalem, dan penuntut ilmu yang gigih, sehingga dia terus mendekat padaku sering kerumahku, sampai si pengacau itu datang. Peristiwa aku melawan Miah yang menjadi guru dadakan waktu itu selalu kuingat
“ayo giliran siapa sekarang?”
Miah yang menjelama sebagai Ustadzah memasang muka serius, akupun tampil takzim didepan guru yang menjadi cintaku itu
“Mi..!” sapaku agak grogi, sepertinya Miah tidak senang aku langsung memanggil namanya seperti itu, dasar aku, padahal saat itu dia menajadi guruku, apa susahnya aku bilang “Usatadzah”, memang kedewasaan itu tidak bisa dipaksakan hadir dalam diri seseorang, diluar dugaan Miah agak serius dengan setengah berteriak dia menyuruhku
“Ayo dibaca!”
Ketika kubaca aku memang pada saat itu belum paham waqof itu apa dan bagaimana, akupun disalah-salahkan terus oleh guruku ini sampai 3 kali bacaan aku harus mengulang, betapa kesalnya karena aku merasa benar dan aku tidak percaya dengan hukum waqof yang dikatakan Miah saat itu, akupun terus melawan sampai-sampai Miah kesal dan akupun juga. Mulai saat itulah sikap Miah mulai Asing padaku, bukan jauh lagi tapi kami menjadi orang yang asing, seolah tak pernah kenal, seolah kami berasal dari planet yang berbeda.
Miah yang memang bosan dirumah budenya itu ingin mencari teman seperti aku yang dianggapnya sempurna, lama-kelamaan akupun tidak lagi melihat Miah, tiba-tiba saja dia menjadi sangat sulit dijumpai, padahal aku dan dia dalam satu kelas yang sama dan masjid yang sama saat sholat dhuhur berjamaah bersama satu sekolahan, tapi mungkin dia sengaja mencari jalan yang lain saat berangkat sekolah atu masuk gerbang sekolah atau saat jalan kekantin, karena gerbang sekolah ada 4 buah, dan kantin ada 5 jadi wajar mungkin jika aku menjadi tidak lagi sering menjumpainya ditambah lagi dengan jumlah murid yang hampir seribu orang yang lalu lalang setiap hari diseantero sekolahan, entah dimana dia sekarang tinggal, akupun menjadi rindu, ditambah lagi aku yang setelah peristiwa itu jarang masuk karena aku mulai merasa sudah lancar baca Alquran, apalagi saat kudengar kalau Miah sudah tidak lagi tingggal dirumah budenya itu, aku menjadi makin tidak tertarik lagi untuk belajar Quran di masjid kenangan itu, akupun meninggalkannya beserta semerbak angin sore yang menerpa sarung-sarung keangkuhanku, tidak ada lagi sore yang penuh ceria karena mengaji makin lama makin sepi dan akhirnya mati, karena tidak ada lagi yang mau masuk untuk belajar mengaji Quran lagi.
Lama sekali aku sibuk dengan duniaku yang sebenarnya kesibukan keputusasaan, karena tak lagi akrab dengan Miah, lalu ketika rinduku mulai tak terbendung aku mendengar dia telah berpacaran dengan si pengacau itu, mantan lawan beratku di penggalang pramuka dahulu waktu kejuaraan penggalang tingkat kecamatan dan waktu lomba siswa teladan juga yang keduanya waktu SD dulu, dia yoga orang yang lebih tinggi badannya dan kukira lebih cerdas dalam sekolah daripada aku.
Miah semakin dekat dengannya, sementara aku hanya bisa berdiam seperti kodok bangkong yang cemberut didalam lubang menunggu hujan datang, “dasar sial!” pikirku, apalagi mereka berdua sama-sama masuk seleksi dan menjadi anggota dewan Penggalang, sementara aku diremehkan guru penyeleksi saat itu si tua Nursi namanya, aku ditolaknya karena aku dianggap pendek dan kecil, tidak pantas menjadi dewan penggalang, apa dia tidak tahu kalau aku dulu adalah wakil sekolah ku dalam kejuaraan gladian pimpinan regu waktu SD di tingkat kecamatan, aku tidak terima akupun mencari pelarian dengan masuk PMR (Palang Merah Remaja), apalagi kudengar Miah dan Yoga juga ikut disana, akupun semakin semangat untuk ikut. Tapi dasar aku si maniak TV, sejak kecil manja dan tidak pernah serius di kegiatan apapun disekolah, akupun jadi ogah-ogahan di PMR meski sudah diterima sebagai anggota, apalagi ketika kurasa kedekatan dan kemesraan Miah semakin menjadi-jadi dengan si pengacau itu akupun memutuskan menyingkir sepenuhnya dari semua kegiatan sekolah,
“Tapi biarlah” pikirku
“aku akan membencinya!, aku benci Miah, aku benci Yoga!!” teriakku dalam hati penuh rasa muak.

******

0 komentar: